Strategies
for change : adaptation to new accounting conditions
Pendahuluan
Tujuan
dari penulisan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi strategi manajer lini
tengah (middle manager) selama
perubahan kondisi akuntansi. artikel ini mendiskusikan bagaimana manajer lini
tengah pada institusi publik dibidang kesehatan dalam mengubah strategi mereka
selama perubahan transformasional. Materi ini menarik karena manajer memiliki
karakteristik untuk terikat dengan tradisi dan melawan perubahan.
Konsep
perubahan kondisi akuntansi dapat diartikan adanya meningkatkan fokus
pengawasan, pencatatan komunikasi dan analisis keuangan. Pada kondisi ini,
manejer lini tengah berada dititik vital, diantara manajemen dan staf. Manajer
lini tengah memiliki kekuatan untuk melewati proses perubahan. Keputusan
strategis manajer lini tengah membangun hubungan yang penting dalam perubahan transformal.
Sedangkan
startegi, dalam penelitian ini, didasarkan pada konsep chaffe (1985) dari
startegi interpretatif. Strategi jenis ini menggambarkan organisasi sebagai
kumpulan perjanjian yang dilakukakn oleh individu yang memiliki kehendak
bebas. Pada konsep ini menyiratkan jika
manajemen dapat mengambil sudut pandang di satu arah sementara manajer lini
tengah memilih untuk melawannya.
Teori
perubahan
memberikan dampak kepada mayoritas pekerja di organisasi. Perubahan
transformasional pada organisasi didefinisikan sebagai awal dari perilaku yang
baru yang kemudian menyebar dalam komunitas. Perubahan seringkali berasal dari
luar dan diintegrasikan dalam organisasi.
Model
perubahan sering didesain uuntuk tujuan operasional. Gagasan digunakan untuk
menjadi alat atas mengantarkan kepada pekerjaan yang berkualitas. Namun,
perubahan tidak dapat direncanakan dan tidak diinginkan. ditambah lagi,
organisasi tidak selalu efektif dan taat.
Maka, dibutuhkan model teoritis yang mampu menjelaskan variasi
berlangsung serta berkelanjutan dari praktik baru dan pola atas tindakan paska
penerapan. Terdapat 2 model perubahan di penelitian ini :
a. Stepwise change models.
Pada
model ini, perubahan organisasi diidentifikasi dalam 2 langkah (tolbet dan zucker,1996).
Langkah pertama, fase semi-institusionalis , yang diikuti langkah kedua,
institusional sepenuhnya. Model ini juga hampir sama dengan konsep model stein
(1997)yang menggunakan konsep learning
the first order dan learning the second order. Learning the
first order merupakan perubahan
organisasi yang tanpa transformasi bentuk seperangkat nilai – nilai.
Sedangkan learning the second order
melibatkan perubahan yang radikal.
Selain
itu ada juga konsep yang diperkenalkan oleh jacobs (2005), yaitu konsep
polarisasi dan hibridisasi. Polarisasi terjadi
ketika sub-kelompok yang berbeda dalam organisasi menerima reorganisasi dan berprilaku dalam cara yang baru, sementara individu yang
tersisa melanjutkan kinerja seperti sebelumnya. sedangkan hibridisasi merupakan
perubahan fundamental yang terjadi dan ide baru yang digunakan oleh keseluruhan
organisasi. Selanjutnya, konsep yang
diperkenalkan oleh van de
ven dan poole (1995) yang mengidentifikasi 4 langkah yang berbeda pada
model teoritis yang menjelaskan perubahan organisasi. Yaitu, konfrontasi,
dissastification, konsensus, dan
implementasi.
b. Continuous change model
Hining dan malhotra (2008)
menggambarkan model perubahan berkelanjutan berjalan (ongoing continuous change model) dalam 6 langkah perubahan
organisasi . langkah – langkah tersebut
adalah pressure (tekanan), deinstitutionalisation
(deinstitusionalisasi), preinstitutionalisatio,
theorisation (teorisasi), diffusion (difusi), dan institutionalisation. Bentuk teori ini
menyebabkan adanya rantai perubahan transformasional.
Metodelogi
Penelitian
ini memfokuskan perhatian kepada manejer lini tengah yang bekerja dipelayanan
kesehatan publik di swedia. Jumlah manajer lini tengah dalam organisasi
kesehatan di swedia yang berpartisipasi di penelitian ini sebesar 25 orang.
Pemilihan manajer lini tengah pada penelitian ini untuk mengidentifikasi proses perubahan
secara umum di sektor kesehatan publik. Penelitian ini dilakukan dengan teknik
wawancara dan menggunakan transkrip. Selanjutnya, hasil interview diproses
dengan 5 langkah. Pertama, menyeleksi
material yang relevan dengan penelitian ini. kedua, mengidentifikasi perubahan
transformasional yang dominan terjadi. Ketiga, menyeleksi startegi yang
diterapkan manajer. Keempat, mengintrepetasi bahan material yang dibuat dengan
menggunakan model teoritis. Kelima , mereview kembali bahan material untuk
melihat apakah interpretasi konsisten dengan model teoritis.
Analisis kasus penelitian
Kasus
:
Berdasarkan
hasil yang ditemukan, manajer lini tengah pada organisasi kesehatan di swedia
memiliki tanggung jawab anggaran yang luas. namun, mereka kekurangan akan pelatihan manajemen dan
keuangan. Ditambah lagi, manajer lini tengah ini lebih banyak berasal dari
profesi keperawatan. Ini mengindikasikan apabila mereka lebih mengerti
persoalan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan daripada pengendalian manajemen. Padahal tugas mereka
tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan saja. manajer lini tengah
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memecat karyawan, membeli peralatan,
dan aktivitas berbeda lainnya.
Pada
penelitian ini, model pengendalian manajemen yang diterapkan adalah balanced scorecard. Dengan balanced scorecard diharapkan memberikan
kontribusi besar terhadap kinerja organisasi. Namun pada kenyataannya, para
manajer lini tengah senior merasa model pengendalian manajemen baru ini tidak
efektif. Sedangkan pihak yang masih mempertahankan model ini adalah manajemen dan
manajer lini tengah yang baru serta minim pengalaman. Hal ini menyebabkan balanced scorecard hanya menjadi
formalitas dan tidak memiliki dampak
yang berarti pada pekerjaan sehari hari.
Analisis
:
Berdasarkan
penjelasan peneliti, maka diketahui apabila perubahan yang terjadi di organisasi kesehatan publik di
swedia tidak dimulai dengan start-up yang
baik. Tahap start –up merupakan tahap
dimana membangun kemitraan, bagaimana dan dengan siapa pengembangan dilakukan,
serta menentukan kapan saatnya untuk bergerak ke fase selanjutnya (Mclean, 2006). Dari penjelasan
peneliti, maka didapati apabila keputusan untuk mengubah model pengendalian
manajemen menjadi balanced scorecard
diambil oleh manajemen. Keputusan tersebut diambil tanpa adanya persiapan yang
baik. Hal ini terlihat dimana tidak ada tim maupun sub divisi khusus untuk
mensukseskan perubahan ini. bahkan ada kesan jika pihak manajemen hanya
bersikap “ikut-ikutan”, dikarenakan terpengaruh dengan ‘kehebatan” balanced scorecard ini. selain itu,
tidak ada penilaian organisasi sebelum melakukan perubahan. Sehingga yang
timbul adalah ketidakpuasan manajer lini tengah yang berdampak pada penerapan
model pengendalian manajemen baru.
Kasus
2 :
Perubahan
model pengendalian manajemen tentu saja berdampak pada lainnya, termasuk
anggaran. Hal ini diperparah dengan kondisi yang buruk, seperti krisis
keuangan, penghentian perekrutan karyawan baru, dan pembatasan lembur. Hal ini
menimbulkan sikap penghematan. Manajer lini tengah dituntut untuk mampu
memangkas beban yang tidak dibutuhkan dalam aktivitas operasional. Sehingga
anggaran menjadi terbatas. Hal ini menimbulkan sebuah taktik baru yang disebut smart budget strategies. Pada intinya,
strategi ini dilakukan dengan tujuan agar anggaran tahun depan tidak dikurangi.
Analisis
:
Dalam
mengimplementasi suatu sistem yang baru, diperlukan suatu kesiapan dalam
menghadapinya. Salah satunya adalah intervensi yang dilakukan oleh sebuah tim
pengembang organisasi (od) (mclean, 2006). Salah satu cara intervensinya adalah
melakukan training dan coaching. Hal ini akan membantu manajer dan karyawan
secara personal untuk mampu mengimplementasi kebijakan baru organisasi.
Berdasarkan penjelasan peneliti, para manajer harus melakukan eksperimen
terhadap anggaran mereka sehingga mendapatkan strategi baru ini. eksperimen ini
dilakukan oleh manajer lini tengah, dan apabila “berhasil” maka akan disebar ke
manajer lini tengah lainnya. Sehingga bisa dikatakan, pada awal implementasi
model pengendalian manajemen baru, secara personal manajer lini tengah dan
karyawan masih belum siap menghadapi perubahan.
Kasus
ketiga :
Selama
ini, manajer lini tengah menjadi mediator antara manajemen dan pekerja. Namun
dengan adanya kemajuan teknologi ini, menjadi ancaman baru juga bagi manajer
lini tengah. Hal ini dikarenakan para pekerja dapat mengetahui informasi lebih
daripada manajer lininya. Maka, para manajer lini tengah menerapkan suatu
strategi dengan membuat blog dan chat room bagi para pekerja. Dengan adanya
blog dan chat room ini, manajer tidak memiliki tanggung jawab atas informasi
yang tidak tersaring. Hal ini mengakibatkan diskusi menjadi berkembang. Selain
itu, permasalahan yang ada di karyawan dapat diatangi secara cepat. Sehingga
mampu menghilangkan tekanan bagi manajer.
Analisis
:
Keberhasilan
penerapan suatu sistem informasi didukung oleh perangkat teknologi informsi
yang ada (Wijaya, 2011). keberhasilan ini
bertujuan agar manajemen perusahaan dapat bekerja secara efektif dan efisien.
Akan tetapi , ada perusahaan yang tidak mampu menjalankan hal tersebut.
berdasarkan penjelasan peneliti, pada awalnya pengaruh teknologi ini membawa
ancaman tersendiri bagi manajer lini tengah . namun pada akhirnya, manajer lini
tengah dapat mencari solusinya dan menerapkan startegi barunya. Sehingga
penerapan teknologi informasi membawa keuntungan tersendiri bagi manajer lini
tengah.
Hasil penelitian
adanya
perubahan dalam organisasi, membuat manajer harus mencari startegi – strategi
baru. Pada penelitian ini, pola tersebut berawal dari sikap manajer lini tengah
yang mempertanyakan model pengendalian manajemen baru, bereksperimen dengan
strategi anggaran, lalu
mengimplementasikan informasi teknologi yang baru. Strategi ini membentuk transisi
berdasarkan continuous circular change model yang dipopulerkan oleh malhotra
dan hinings. Ada dua hal yang menjadi
titik temu : pertama , adanya startegi yang terorganisir serta yang kedua,
kecendrungan untuk mengadopsi inovasi yang didukung oleh kebijakan organisasi
dan mempertanyakan apa yang ditolak atau dilarang oleh organisasi.