Kampus FE Untan |
Jurnal
Accounting As Reality Construction :
Towards A New Epistemology For Accounting Practice menjelaskan mengenai
keterbatasan pandangan para akuntan dalam memandang dan memahami realitas.
Selama ini akuntan memandang diri mereka sebagai objective appraiser terhadap
suatu realita dan menyajikannya. Padahal, akuntan membangun realitas dengan
cara yang terbatas dan sepihak. Hal ini mengindikasikan jika gagasan
objektifitas dalam akuntansi merupakan mitos pada sebagian besar. Sebagian
gagasan lain, berada pada jalur perkembangan menarik di masa depan dalam
disiplin ilmu. Selain mengungkapkan keterbatasan cara pandang akuntan, jurnal ini juga mengembangkan perspektif
alternatif pada sifat dari proses akuntansi, membangun waawasan mengenai sifat
interpretif dan metaforis dalam akuntansi, serta memperlihatkan jika akuntansi
sebaiknya didekati dengan bentuk dialog. Sehingga, akuntan dapat membangun , " membaca " dan
menyelidiki situasi dengan berbagai cara.
Dimulai dari litografi M.C Escher , seorang grafis berkebangsaan Belanda, yang terkenal
dengan karyanya “Relativity”, “Day and Night”, dan “ascending and descending”.
Untuk jurnal ini, kami menjadikan salah satu karyanya yaitu, Hand with
reflecting Globe; Self Portrait” sebagai analogi dalam memandang, memahami, dan
membangun realitas, khususnya pada bidang akuntansi.
Apabila diamati litografi ini, maka akan terlihat
sebuah gambar , potret diri M.C Escher yang tengah melihat dirinya sendiri
melalui sebuah bola kaca. M.C Escher menggambar dirinya sendiri dengan sudut
pandang penonton yang melihat gambar. Sehingga seolah – olah, penonton berada
dalam posisi M.C Escher.
Inti dari litografi ini adalah titik epistemologi
dasar / fundamental epistemology. Epistemologi merupakan asumsi mengenai asal
mula dari pengetahuan atau sumber pengetahuan (Morgan, 1979: pp.1). Litografi M.C Escher
menyiratkan apabila sumber inspirasi yang ia miliki merupakan sesuatu yang
berdasarkan apa yang dilihatnya dan pengalamannya. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan merupakan sebuah pekara yang
berkaitan dengan perspektif. Seperti seniman yang melukis berdasarkan apa yang
ia lihat, seorang ilmuwan kadang menghasilkan ilmu berdasarkan apa yang ia
lihat. Sehingga ilmu yang dihasilkannya merupakan a partial knowledge. Partial
knowledge adalah ilmu pengetahuan yang memiliki sifat yang terbatas, tidak
lengkap, dan cenderung memihak.
Jurnal ini akan fokus terhada masalah yang dihadapi
oleh para akuntan dalam menyajikan realitas dari situasi yang akuntan harapkan
atas peruntukkan akun. Akuntans sendiri sering memandang dirinya sebagai pihak
yang terlibat dalam objektifitas, bebas nilai, teknisi perusahaan, penyajiaan
seperti apa realita itu. Artinya, akuntan hanya menyajikan dan mewakili situasi
dengan cara yang terbatas dan sepihak.
Akuntan sebaiknya mulai mengapresiasi dan mengeksplor
dimensi dari proses akuntansi agar memiliki makna pada pengembangan
epistemologi baru. Pengembangan epistemologi baru akan memberikan penekanan
pada penafsiran yang bertentangan dengan aspek
“objektifitas” pada suatu disiplin ilmu. Sehingga, dengan
upaya ini akan memperluas dan memperdalam kontribusi akuntan pada aspek ekonomi
dan kehidupan sosial.
THE METAPHORICAL NATURE OF KNOWLEDGE
Apabila
seseorang ingin mendapatkan ide yang baru dan fresh dalam satu disiplin ilmu,
maka ia sebaiknya memandang ilmu
tersebut dari luar. Seseorang sebaiknya mampu melampaui cara melihat sebagai
akuntan dan memeriksa perkembangan pada teori organisasi terkini. Dikarenakan
pada teori organisasi terdapat masalah perspektif dan interpretasi paralel
untuk menghasilkan pengetahuan umum.
Pada
jurnal ini digambarkan, apabila teori organisasi merupakan sebuah metaphorical
enterprise dan sejarahnya merupakan cerita atas metaphorical development.
Sebagai contoh, pada awalnya teori organisasi dibangun atas sudut pandang jika
organisasi merupak sebuah mesin. Teori desain organisasi menyebutnya sebagai
model mekanistik Tujuannya difokuskan kepada hubungan antara struktur,
teknologi , tujuan, dan efisiensi dengan premis organisasi dapat dirancang
secara rasional sebagai struktur dari bagian yang jelas, terkoordinasi, dan
terkendali. Hal ini akan menghasilkan cara pandang yang berorientasi secara
internal yang membuat efisiensi perusahaan dengan birokrasi yang baik.
Sayangnya,
teori ini memiliki keterbatasan. Teori ini membutuhkan new metaphorical
perspective. Dengan mengembangkan gagasan apabila organisasi memiliki kemiripan
dengan makhluk hidup daripada mesin. Organisasi memiliki kemiripan dengan
makhluk hidup dengan fokus kepad sifat fleksibilitas dan adaptasi. Teori desain
organisasi menyebutnya sebagai model organik. Teori ini menekankan jika
lingkungan organisasi merupakan seuatu yang penting apabila organisasi ingin
bertahan.
Saat
ini, lingkungan eksternal dan perbedaan sosial, teknis, serta lingkungan
ekonomi, memberikan dampak kepada bentu atau model perusahaan. sehingga kita
membutuhkan teori kontijensi dalam
mengembangkan organisasi. Penggunaan teori kontijensi akan menekankan
pentingnya mencapai a good fit antara organisasi dan lingkungan. Fit adalah
konsep utilitas yang luas dan penting dalam berbagai teori organisasi (Drazin, 1985)
Sejak
tahun 1970-an, ada metafora lain yang memberikan perkembangan pada teori
organisasi. Contohnya, gagasan jika organisasi merupakan budaya dimana memiliki
masyarakat kecil dengan sistem dari ideologi, mitos, ritual, dan bentuk atas simbol sendiri. Budaya
perusahaan dipandang sebagai faktor kunci yang memperngaruhi kesuksessan
organisasi , dan ini memberikan dampak langsung pada karyawan, khususnya
manager pada level senior. Dengan adanya eksplorasi mengenai metafora lain,
akan menciptakan wawasan pada politik
organisasi , pada sifat cybernetic dari pengambilan keputusan , pada tampilan
jelek terkait dengan eksploitasi dan dominasi , dan sebagainya.
Inti
dari jurnal ini adalah pemahaman mengenai organisasi berdasarkan pada metafora
yang digunakan. Penggunaan metafora akan menghasilkan wawasan yang penting yang
keterbatasannya selalu terdefinisikan dengan jelas. Perbedaan metafora akan
memahami dan menyoroti aspek organisasi yang berbeda, sekaligus memiliki
kecendrungan untuk mendistorsikan metafora lain. Pemahaman yang menyeluruh
membutuhkan upaya untuk menemukan cara dalam mengintegrasikan banyak wawasan
(paradoxical insight) yang berguna menghasilkan teori dan penjelasan.
Ada
solusi yang diberikan terhadap permasalahan ini. Pemahaman yang menyeluruh ini
akan dapat dicapai apabila mampu mengakui jika organisasi memuat berbagai macam
aspek atau hal dalam satu tempat. Organisasi merupakan enterprise yang secara
bersama – sama harus terlibat pada kegiatan tertentu untuk bertahan hidup.
Organisasi menyediakan adegan untuk karir individu dan politik. Organisasi
merupakan area dimana orang membangun makna dan terlibat pada segala jenis
aktivitas yang berpengaruh secara simbolis.
Cara dalam memahami banyak dimensi dan menilai pengaruhnya merupakan
sesuatu perspektif yang terbentuk dari motivasi dan niat. Contohnya, jika kita
berniat untuk mengkritik atau melakukan revolusi hubungan sosial yang ada, kita
kan cenderung untuk memilih dan mengadopsi yang lain.
Pemahaman
atas metaphorical nature of knowledge membawa kepada permasalahan dasar
mengenai epistemologi. Pengakuan atas human agency dan keterpaksaan
keterbatasan oleh perspektif merupakan dasar dalam menghasilkan pengetahuan.
Dan pengetahuan selalu dangkal dalam
mewakilkan keseluruhan susunan realitas.
ACCOUNTING AS A METAPHORICAL
Akuntansi
berkaitan dengan dua masalah. Yaitu, masalah penyajian dan untuk apa akuntansi digunakan. Akuntansi
mesti mampu menyajikan multi dimensi yang kompleks melalui kontruksi metafora
yang terbatas dan tidak lengkap.
Praktik
akuntansi dibingkai dengan metafora. Metafora ini akan mendorong kepada
numerical view of reality, seperti teori organisasi. Pada awalnya, teori
organisasi mencoba untuk menyajikan
organisasi melalui prinsip birokrasi yang terbentuk dari cara pandang
kepada organisasi sebagai mesin. Pada situasi ini, akuntan mencoba untuk
menyajikan organisasi dan segala kegiatannya dalam bentuk angka. Inilah yang
disebut dengan metafora atau kiasan. Tetapi, hal ini memberikan penyajian yang
parsial dan tidak lengkap mengenai realitas jika dihubungkan dengan angka.
Numerical view of reality hanya melihat aspek realitas organisas yang dapat
diukur dan dibangun ke dalam kerangka akuntansi. Tetapi, numerical view of
reality cenderung mengabaikan aspek realitas organisasi yang tidak bisa diukur.
Akuntan
telah mengakui adanya keterbatasan mode dari numerical view of reality dalam
menyajikan. Tetapi, keterbatasan ini dihilangkan dengan upaya untuk
mengatasinya. Upaya ini merupakan ada penyamaan antara numerical view of
reality dengan objektifitas. Gagasan mengenai akuntan yang menyajikan realitas
yang ada melalui angka – angka, sudah mengadung wawasan yang jauh lebih penting
. Akuntan selalu terlibat dalam menafsirkan realitas yang kompleks, parsial,
dan dengan cara yang tertimbang dari kemampuan akuntan dalam mengukur serta
memilih pengukuran melalui skema khusus akuntansi yang diadopsi.
Tetapi
ini tidak berarti, masalah berakhir dititik ini. Dikarenakan dalam rerangka
numerical view of reality, teori akuntansi dan praktik akuntansi dibentuk oleh
metafora yang menawarkan persaingan pandangan bagaimana realita seharusnya
diwakilkan dan dipahami. Akuntansi sebagai disiplin ilmu sudah membangun dan
mengubah identitas selama bertahun- tahun dalam perlakuan, yang menyediakan a
close parallel dengan menemukan dalam teori organisasi. Seperti teori
organisasi yang mengalami perkembangan dan pengayaan melalui cara pandang
organisasi sebagai mesin, organik, sibernetik, budaya, sistem politik, alat
dominasi, dll. Teori akuntansi juga dapat dibentuk dan dirumuskan dengan interpretasi metafora yang mendorong akuntan untuk membangun dan
mengintrepretasi pengaruh dan jasa skema akuntansi dari berbagai sudut pandang.
Berikut
ini merupakan beberapa contoh sebagian
besar metafora yang sudah memberikan dampak terhadap teori akuntansi saat ini :
Accounting as
history: the view that accounting is concerned with providing a faithful record
of the transactions of an enterprise, and with reporting such transactions in a
manner suited to the needs of users (e.g. Paton & Littleton, 1940; Littleton, 1953).
Accounting as
economicg, the view that accounting should try to mirror current economic
realities and reflect basic economic principles (see, for example, Davis etaL, 1982).
Accounting as
information~ the view that accounting should form part of a wider MIS framework
(e.g. Prakash &
Rappaport, 1977; Snowball, 1980).
Accounting as a
language: the view that accounting provides concepts and fi'ameworks which
structure thought, conversation, perceptions and decision-making (e.g. Belkaoui, 1978),
especially to support capitalism.
Accounting as
rhetoric: the view that accounting, and the debate about different accounting
systems, is largely a question of argument and discourse where various
proponents attempt to convince others of the superiority of one principle over
another (e.g. Arrington,
1987).
Accounting
aspoliticg, the view that accounting and accounting systems reflect and support
the values and needs of specillc interest groups, and that accounting
information is constructed and used as a resource in shaping corporate
politics, especially in decision-making and impression management (e.g. BurcheU et aL , 1980 ).
Accounting as
mythology: the view that accounting systems provide a societal resource to be
used in sustaining myths of rationality, and as a means of justifying.
rationalizing and legitimizing decisions that ultimately serve other individual
and social ends (e.g.
Boland, 1982).
Accounting as magic:
the view that underneath the veneer of rationality, accounting and the use of
accounting information forms part of a societal "rite" serving the
same functions for modern decision-makers as the entrails of chickens served
for old witch doctors (e.g.
Gambling. 1977).
Accounting as
disciplined control: the view that one of the primary functions of accounting
is to exercise surveillance by creating "visibility": just as prisons
are often designed to maximize the visibility and scrutiny of inmates,
accounting systems are often designed to increase the visibility and scrutiny exercised
over employees, even those working in remote locations without direct forms of
supervision (e.g. Burchell
etaL, 1980).
Accounting as
ideology: the view that accounting systems form part of the ideological
apparatus that sustains the ability of a society to produce and reproduce
itself in accordance with clearly defined principles. (e.g. Merino & Neimark, 1982; Tinker etaL,
1982).
Accounting as
domination and exploitatiom the view that accounting provides techniques for
the extraction of wealth in support of elite interest groups, both at the
expense of Mother Nature (in terms of natural resources and the ecological
balance of the planet), and of the people employed in the service of others (e.g. Tinker, 1985).
Semua
metafora dikembangkan untuk membentuk kompetisi atau persaingan interpretasi
mengenai sifat dan pengaruh pada akuntansi dan bagaimana prinsip akuntansi
sebaiknya dikembangkan. Semua metafora memahami elemen yang berpengaruh
(significant element) mengenai apa akuntansi secara keseluruhan, dan
terkadang mengusulkan prinsip yang
menarik untuk desain akuntansi. Namun, tidak satupun metafora memahami dasar
keseluruhan pada akuntansi sebagai fenomena sosial. Akuntansi sebagai fenomena
sosial membuat akuntansi seperti aspek kehidupan sosial lain yang merupakan hubungan kompleks,
multidimensi, dan paradoks. Akuntan dan teori akuntansi memiliki posisi
yang dalam hubungan yang sama persis
terhadap teori organisasi yang berharap untuk memahami beberapa aspek kompleks
dari dunia di sekeliling kita. Melalui pengakuan ini, maka akuntan dapat
bergerak menuju epistemologi baru untuk memahami dan mengarahkan keahlian
mereka.
ACCOUNTING AND THE MYTH
OF OBJECTIVTY
Secara
historis, keyakinan apabila akuntansi didasarkan pada pencarian
objektifitas, sudah terbentuk.
Implikasinya, adanya kemungkinan untuk akuntan
menjadi objektif dan menyajikan realita dari situansi dengan cara yang
benar. Pandangan ini tidak mungkin, dikarenakan akuntan hanya mampu memahami
aspek yang terbatas dari realita. Sehingga akuntansi tidak akan pernah bisa
benar – benar objektif. Objektifitas selalu menjadi bagian dari observer sebagai objek yang diobservasi. Akuntan
terhubung dengan observasi mereka melalui prinsip dan praktik yang pada
akhirnya berdasarkan penciptaan metafora
yang parsial dan sepihak dalam melihat dunia.
Mitos
objektifitas pada hakikat akuntansi, telah memberikan banyak masalah terkait
operasional. Hal ini dikarenakan praktisi akuntansi tahu , sangat tidak mungkin
mempertahankan objektifitas dimana orang tersebut dibawah tekanan dari orang
yang memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan akuntansi yang lebih rinci.
Pada
praktiknya, akuntansi sudah menjadi bisnis untuk membujuk yang lain agar untuk
mengakui jika konsep miliknya merupakan pandangan superior atau sesuatu yang
terbaru. Pandangan akuntan terhadap realita sering membawa beban yang lebih
berat daripada pandangan yang lain. Dikarenakan pandangan akuntan terhadap
realita sering berhubungan dengan kekuasaan dan pengawasan sumber daya.
ACCOUNTING AS AN INTERPRETIVE ART
Solusi
jangka panjang atas masalah ini adalah mengenali dan menerima subjektivitas dasar akuntansi serta
mengembangkan kode praktek yang
memungkinkan akuntan untuk mengakui bahwa akuntan terlibat dalam sebuah
jaringan kompleks pada reality construction. Akuntan merepresentasikan situasi
kompleks, seperti vitalitas ekonomi perusahaan, dalam cara yang terbatas dan
sepihak. Tetapi representasi menjadi “tambal sulam” melalui situasi “Accounted
for” kemudian berkelanjutan atau diubah. Akuntan menafsirkan realitas. Tetapi
interpretasi – dalam membentuk statement mengenai vitalitas ekonomi secara
umum, keputusan anggaran modal, biaya berjalan- menjadi sumber dalam pembangunan dan rekontruksi realitas yang
sedang berlangsung.
Pada
jurnal ini, terdapat 4 contoh singkat yang mengilustrasikan bagaimana akuntan
memainkan perannya di jaringan dari reality construction, membentuk, dan
mempertahankan realitas organisasi melalui cara pandang secara parsial.
Akuntansi dan Budaya Perusahaan
Sistem
akuntansi mampu melakukan lebih dari sekedar mengawas atau cerminan dari realitas. Akuntansi dapat
membentuk realitas. Salah satunya, adalah bagaimana pengenalan pengawasan
finansial yang ketat mampu membentuk ulang budaya dan tujuan umum sebuah
organisasi. Contohnya : pemutusan beberapa staf di rumah sakit, dengan alasan
manajemen biaya. Selain itu, adanya perubahan hubungan antara pasien, perawat, dan
dokter yang pada awalnya berorientasi pada pasien menjadi pengawasan biaya atau
pengelolaan biaya.
Pengawasan keuanngan dapat membuat
rumah sakit menjadi lebih efisien.
Tetapi pengawasan ini juga dapat membuat rumah sakit menjadi kurang manusiawi.
Sistem akuntansi memahami dan membentuk aspek penting
dari realitas menjalankan rumah sakit, terutama aspek
ekonomi dan keuangan.
Namun dalam prosesnya, aspek yang lain
juga mengalami perubahan.
Akuntansi dan Perubahan Teknologi.
Sebagian besar organisasi
saat ini mengharuskan belanja modal dalam teknologi sebagai jenis penilaian keuangan
ketat. Penilaian ini mungkin
sering diterapkan dalam pekerjaan untuk menentukan
kelayakan ekonomi dan keuangan dari proposal dengan baik, tetapi meninggalkan aspek-aspek lain.
Aspek – aspek lainya seperti, konsekuensi sosial dan manusia. Akibatnya,
pengambilan keputusan sering dilakukan dengan cara mengutamakan
"cost coonsciousness" dan mengorbankan pemahaman
yang lebih luas tentang implikasi dari perubahan teknologi.
Akuntansi dan kebijakan ekonomi dan sosial
Akuntansi
memiliki ‘kuasa’ lebih banyak dalam menentukan kebijakan yang berhubungan
dengan aspek ekonomi, sosial bahkan politik, walaupun sesungguhnya ia hanya
menangkap aspek kecil dari keadaan socio-political yang menimbulkan dampak
lebih luas dari yang dihadapi.
Contohnya kasus pekerja tambang di Inggris.
Akuntansi dan "shareholder view" dari organisasi
Selama ini, praktik akuntansi diarahkan
untuk mempertahankan pandangan pemegang saham perusahan. Tetapi
dalam tahun terakhir, gagasan cara
pandang organisasi
berdasarkan "perspektif stakeholder"
mengalami peningkatan. Perspektif stakeholder ini meliputi dari karyawan, pelanggan, manajer
dan masyarakat umum. Hal ini dikarenakan mereka juga "pemilik"
organisasi. Dalam artian, jika masing-masing kelompok memiliki pertaruhan dan kontribusi dalam
suatu organisasi. Akuntan biasanya bekerja pada satu atau dua kepentingan kelompok, meskipun
kesehatan dan kesejahteraan organisasi mungkin akhirnya menuntut pandangan yang lebih luas.
IMPLIKASI DAN KESIMPULAN
Berdasarkan 4 contoh di paragraf sebelumnya, maka
diketahui adanya (a) sifat berbasis perspektif akuntansi dan (b) bagaimana
akuntansi merupakan pusat proses realitas konstruksi dalam sebuah organisasi,
membentuk pengambilan keputusan sesuai dengan nilai-nilai dan perspektif yang
mendasari prinsip akuntansi yang digunakan. Sayangnya, akuntan
terjerat dalam proses realitas konstruksi. Akuntan
memahami dan mengartikulasikan
realitas yang kompleks dengan cara parsial, dan
menangkap realitas untuk mempertahankan realitas
seperti yang dirasakan.
Salah satu tantangan
utama pada diri akuntan adalah untuk mengatasi
keterbatasan yang ada. Akuntan harus menghadapi subjektivitas dasar keahliannya
dan mengembangkan sarana untuk mengatasi keterbatasan ini. Oleh karena itu, akuntan
sebaiknya membangun prinsip-prinsip yang menyatakan
sebagai berikut :
(a) akuntansi
adalah seni interpretif dan selalu-perspektif berbasis,
(b) adanya
tantangan yang dihadapi akuntan untuk mengembangkan bentuk-bentuk praktik yang menekankan bagaimana laporan akuntansi dan wawasan harus
dianggap dan digunakan sebagai elemen dari percakapan
atau dialog, daripada klaim sebagai dasar yang menegaskan objektivitas atau" kebenaran " tertentu.
Morgan
(1986) membuat sebuah model untuk mengembangkan pandangan interpretatif. Pada pandangan interpretatif,
manajer yang efektif dan analis perusahaan harus terampil dalam seni "membaca" situasi. Manajer dan analis harus belajar untuk melihat dan memahami banyak hal
dan paradoks dimensi
organisasi. Sekaligus, menemukan cara untuk
memberikan pemahaman kritis terhadap beberapa arti dan berbagai
tindakan yang dihadapi.
Selain
itu, akuntan juga
harus peka terhadap berbagai dimensi realitas. Mereka perlu belajar bagaimana
untuk menyelidiki dimensi ini. sehingga beberapa wawasan yang muncul, dapat
memberikan pemahaman berbasis luas dan tindakan yang relevan. Tapi, yang paling
penting, akuntan harus selalu sensitif terhadap unsur-unsur realitas serta elemen yang ada. Hal ini dikarenakan
adanya kecendrungan dalam akuntan untuk menghilangkan aspek – aspek lain dari
perspektifnya.
Pada
dasarnya, pendekatan Morgan membutuhkan pemahaman reflektif dan kritis mengenai
hubungan akuntandan apa “accounted for”. Selain itu, pendekatan ini membutuhkan
kemampuan untuk membedakan dimensi yang
tersembunyi atau yang ditekan dari hal lain. Akuntan haruslah memiliki
perspektif ganda dalam menafsirkan. Akuntan harus mengakui adanya tension antara “cara pandang dari
seorang akuntan” dan “dunia dalam arti luas”. Oleh karena itu, akuntan mulai
berinteraksi dan “berdialog” dengan situasi dengan cara penafsiran yang jauh
lebih terbuka. Akuntan akan melihat tujuan akhirnya adalah untuk menghasilkan
intelegensi dan wawasan yang luas. Dalam prosesnya, akuntan akan dapat
mengembangkan pendekatan yang mampu mengatasi banyak masalah yang terdapat pada
hubungan akutansi , organisasi, dan masyarakat.
very usefull and helpfull.. thank u sist
BalasHapussama -sama
Hapus