(minus abstrak dan kesimpulan)
oleh marisa eka prasetyawati
2016
Berawal
dari terjadinya science war tahun
1995, dimana terjadi saling kritik antar sudut pandang epistemologi ilmu.
Perdebatan khusus mengenai science war sendiri adalah untuk menjawab serangan para
ilmuwan kritis/ postmodernis terhadap kecurigaan mereka mengenai penyimpangan
yang telah terjadi pada ilmu mainstream. Menurut Sardar (2002), science war tidak hanya terjadi pada
tahun 1995 – 1996 , tetapi merupakan “warisan lama”. Hal ini tercermin dari
tulisan Thomas Kuhn pada tahun 1960 dalam kumpulan esai yang dibukukan dengan judul The Structure of Scienctific Revolutions.
Thomas Kuhn memperkenalkan istilah paradigma, sebagai jawaban atas adanya
perselisihan pendapat antar ilmuwan yang terjadi pada saat itu (Kuhn,1962). Menurut Thomas Kuhn, paradigma
merupakan sebuah pencapaian dari dua karakteristik esensial. Karakteristik pertama adalah mampu menggali
hal – hal yang baru. Sedangkan karakteristik kedua, bersifat terbuka sehingga mampu memecahkan
masalah yang ada. Pada akhirnya,
pencapaian ini akan erat kaitannya dengan apa yang disebut dengan “Sains yang
Nomal” (normal science), dimana akan
memberikan fondasi bagi masyarakat ilmiah untuk praktek selanjutnya.
Paradigma
dalam filsafat ilmu merupakan bagian penting yang memberikan pemahaman mengenai
pengelompokkan struktur dasar teori (Mulawarman, 2010). Pada filsafat
ilmu, istilah paradigma digunakan untuk memisahkan karakter dari satu gagasan.
Setiap paradigma memiliki konsep yang berbeda – beda. Setiap paradigma dibatasi
oleh konsep ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Menurut Ghozali(2007), ontologi
merupakan cabang metafisika mengenai realitas yang mengungkapkan ciri-ciri yang
ada. Sedangkan epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki secara
kritis hakikat, landasan, batas – batas dan validitas pengetahuan yang bersifat
mendasar. Terakhir, aksiologi adalah telaah mengenai nilai – nilai atau tujuan
pemanfaatan pengetahuan. Selain ketiga konsep diatas, ada beberapa ilmuwan yang
menambahkan konsep tambahan. Seperti Burrel & Morgan (1979)yang menambahkan
human nature dan metodelogi.
Dalam
perkembangan ilmu sosial, pembagian paradigma semakin berkembang. Burrel dan Morgan (1979) membagi paradigma
dalam wacana organisasi menjadi 4 bagian, meliputi : paradigma fungsionalis,
interpretif, radikal humanis dan radikal struktural. Pada bidang akuntansi,
paradigma terbagi menjadi 3 bagian, meliputi : paradigma positif, interpretif,
dan kritis(Chua, 1986). Selain itu,
ada juga paradigma postmodernisme. Bahkan baru – baru ini,
muncul dan telah berkembang pula paradigma baru di akuntansi, yaitu Paradigma Syariah.
Paradigma Syariah
Thomas
Khun mengenalkan istilah paradigma dalam tulisannya berjudul The Structure of Scientific Revolution.
Paradigma dimaknai dengan referensi dunia atau view of world yang menjadi landasan suatu teori. Paradigma adalah
cara pandang seseorang dalam melihat sesuatu. Apabila berdasarkan definisi
paradigma yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn, maka paradigma syariah memiliki
pengertian suatu paradigma yang didasarkan kepada kepercayaan masyarakat
muslim. Ikatan Akuntansi Indonesia menjabarkan bahwa paradigma syariah
berlandaskan pada pandangan jika alam semesta diciptakan oleh Allah swt sebagai
amanah dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat untuk mencapai
kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (Kariyoto,2013). Dasar dari
paradigma ini adalah menciptakan parameter baik dan buruk suatu usaha,
berdasarkan perangkat syariah dan akhlak, dimana penekanannya berada di sisi
pertanggungjawaban dan nilai – nilai ketuhanan dalam setiap aktivitas tersebut.
Prinsip
dasar paradigma syariah adalah multi paradigma baik disisi mikro maupun makro
(Asrori,2002). Dimensi mikro dalam prinsip dasar paradigma syariah merupakan
ketauhidan, keimanan seseorang kepada Allah swt. Di titik ini, individu yang beriman kepada Allah swt haruslah
mentaati setiap aturan dan menjauhi larangan. Dimensi mikro diperlukan agar
tercipta keadilan sosial (al a’dl dan al ihsan) serta kebahagiaan baik di dunia
dan akhirat(Asrori, 2002). Sedangkan,
dimensi makro dalam prinsip dasar syariah meliputi bidang politik,ekonomi, dan
sosial (Asrori,2002). Paradigma ini dapat membentuk suatu intergritas, sehingga menciptakan karakter tata kelola
dan disiplin pasar yang
baik(Kariyoto,2013). Dengan kata lain, syariah adalah berkenaan dengan
peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi
dasar bagi moral, sosial, politik, ekonomi, serta filsafat suatu masyarakat.
Paradigma
Syariah dalam akuntansi memunculkan istilah baru, yaitu akuntansi syariah.
Istilah akuntansi syariah merujuk pada praktek – praktek akuntansi yang
berbasis agama islam yang diselaraskan dengan lembaga keuangan syariah.
Akuntansi Syariah muncul untuk menjawab tantangan besar di masa yang akan
datang. Yaitu, mendorong kelanjutan dari Ekonomi Islam melalui penyediaan
informasi yang terpecaya dan dapat diandalkan serta sesuai dengan syariat
Islam.
Sumber Hukum pada Paradigma Syariah
dalam bidang Akuntansi
Paradigma
syariah berasal dari tiga sumber utama, meliputi Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqih.
Sedangkan menurut Kariyoto (2013) dalam paradigma syariah terdapat 5 rujukan
yang menjadi sumber hukum. Yaitu, Al Qur’an, As-Sunah (Sunah Nabawiyyah), Ijma,
Qiyas, dan ‘Uruf .
Al-Qur’an
adalah dasar hukum yang utama dalam paradigma syariah. Selain itu, Al Qur’an
juga merupakan sumber nilai utama dalam paradigma syariah. Al-Qur’an adalah
kalam atau firman Allah swt yang dipandang sebagai mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, melalui malaikat Jibril yang digunakan sebagai
pedoman hidup manusia. Salah satu ayat yang menjadi rujukan dasar hukum
paradigma syariah pada bidang akuntansi adalah
surah Al-Baqarah ayat 282. Ayat ini
dipandang sebagai komoditi ekonomi yang dapat dianalogkan dengan sistem double
entry serta menggambarkan keseimbangan angka yang disebut neraca (Kariyoto,
2013). Ayat ini juga dikenal sebagai ayat terpanjang yang disebut dengan nama
Ayat al-Mudayanah atau Ayat utang-piutang (Alma dan Priansa, 2014;294). Inilah
terjemahan surah Al Baqarah ayat 282 :
“Wahai orang – orang yang beriman ! Apabila
kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, khendaklah kamu
menuliskannya. Dan khendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya
dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepadanya, maka khendaklah ia menuliskan. Dan khendaklah
orang yang berutang itu mendiktekan, dan khendaklah ia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak
mampu mendiktekan sendiri, maka khendaklah walinya mendiktekannya dengan benar.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi diantara kamu. Jika tidak ada (saksi)
dua orang laki – laki , maka (boleh) seorang laki – laki dan dua orang perempuan di antara orang – orang yang kamu
sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang
lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi – saksi itu menolak apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu)
kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapata
menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali
jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka
tidak ada dosa bagimu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambilah saksi apabila
kamu berjual beli, dan janganlah menulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikkan pada kamu.
Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”.
Setelah
Al Qur’an, maka rujukan kedua adalah As – Sunah. As-Sunah memiliki definisi sebagai perkataan,
perbuatan, serta aturan yang ditetapkan Nabi Muhammad saw. As – Sunah mampu
menjelaskan dan menguraikan aturan – aturan dalam Al – Qur’an lebih rinci. Yang
ketiga, menggunakan hujjah atau landasan yang bersifat tegas dan jelas
(Qathi’i) yang disebut Ijmak. Kemudian ada Qiyas, yaitu penyamaan atau
pengukuran antara satu dengan sejenisnya. Yang terakhir ada U’ruf, adat
istiadat yang tidak bertentangan dengan syariah.
Prinsip Paradigma Syariah dalam Akuntansi
Dalam
Agama Islam mengajarkan apabila syariah mempunyai prinsip – prinsip yang mesti
diwujudkan (Kariyoto, 2013). Yaitu ,
persaudaraan (Ukhuwah), keadilan, kemaslahatan (maslahah), keseimbangan
(tawazun), dan universalisme (syumuliyah).
Prinsip persaudaraan lebih menekankan kepada interaksi sosial dan
harmonisasi kepentingan pada semua pihak. Untuk prinsip keadilan, lebih
menekankan kepada pemberian sesuatu sesuai dengan hak serta porsinya.
Selanjutnya, prinsip kemaslahatan lebih menekankan kepada kebaikan dan manfaat
baik bersifat duniawi dan ukhrawi. Kemudian ada prinsip kesimbangan yang
intinya kepada keseimbangan baik dari aspek material – spiritual,
privat-publik, keungan –riil, bisnis-sosial, serta pemanfaatan – pelestarian.
Yang terakhir, prinsip universalisme yang menyatakan bahwa hal yang berkaitan
dengan syariah ini dapat dilakukan dengan oleh semua pihak tanpa membedakan suku, agama, ras dan
golongan.
Selaras
dengan prinsip syariah diatas, menurut Alma dan Priansa (2014) terdapat 3
prinsip dasar syariah yang perlu
dipahami khususnya pada bidang akuntansi. Prinsip – prinsip itu adalah
keadilan, transparan, dan jujur (amanah). Keadilan menjadi suatu yang penting dikarenakan
tanpa keadilan, maka akan terjadi
penindasan atas suatu pihak. Sesuai dengan terjemahan surah An Nahl ayat 90 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Begitu
juga dengan kalam Allah pada surah Asysyu’ara ayat 181, yang terjemahanya
berikut ini :
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu
termasuk orang – orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang
lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak – haknya dan janganlah
kamu merajalela dimuka bumi dengan membuat kerusakan.
Selain
prinsip dasar diatas , maka Husein Syahatah (2001) juga menjabarkan 6 prinsip
syariah dalam akuntansi (Alma dan Priansa,2014;299). Prinsip – prinsip itu
antara lain :
1. Amanah
Prinsip
ini berkaitan dengan individu yang bertugas dalam menyajikan informasi
akuntansi. Diharapkan, individu tersebut mampu bersifat amanh dalam memaparkan
informasi yang dianggap layak dan menyembunyikan rahasia yang wajib dijaga
secara syar’i.
2. Sesuai
dengan Realita (Mishdaqiyah)
Prinsip
ini berkaitan dengan laporan keuangan sebagai pusat informasi. Prinsip ini
mendorong terciptanya informasi yang benar dan sesuai dengan realita, tanpa ada
kebohongan serta kecurangan. Hal ini dikarenakan informasi itu dianggap sebuah
kesaksian.
3. Cermat
dan Sempurna (Diqqah)
Prinsip
ini berkaitan dengan bagaimana laporan keuangan dibuat. Prinsip ini mendukung
ketelitian dan kesempurnaan dalam menyiapkan laporang akuntansi. Tentu saja,
dalam mewujudkan kesempurnaan pada laporan keuangan mesti ada syarat – syarat
yang wajib dipenuhi. Yaitu : tetap memegang komitmen terhadap kaidah syar’iyah
dan individu akuntan yang amanah, jujur serta tahu batasan tugasnya.
4. Penjadwalan
yang tepat (Timeliness)
Prinsip
ini berkaitan dengan batas – batas waktu
dalam menghasilkan laporan keuangan sehingga tidak mengurangi manfaat dan
efisiensi kerja.
5. Adil
dan Netral
Prinsip
ini kembali berkaitan dengan akuntan sebagai seorang individu yang beriman
kepada Allah swt. Dimana dalam diri seorang akuntan sudah tercipta sikap jujur
dan amanah yang akan mewujudkan pribadi yang berpegang teguh pada kebenaran.
Konsekuensi yang dihadapi apabila tidak mewujudkan prinsip ini adalah timbulnya
rasa ketidakpercayaan dari pengguna laporan keuangannya.
6. Transparan
(Tibyan)
Prinsip
ini berkaitan dengan laporan keuangan yang menyajikan data yang jelas.
Kejelasan data disini dapat diartikan sebagai tidak adanya data yang
disembunyikan dengan maksud mengambil keuntungan pribadi dan merugikan pihak lain.
Rerangka Konseptual Akuntansi dalam Paradigma Syariah
Berdasarkan
prinsip paradigma syariah (the
fundamental of the shari’ah paradigm), maka dikembangkan rerangka
konseptual akuntansi berdasarkan syariah. Dalam paradigma syariah, tujuan
diselenggarakannya akuntansi adalah untuk mencapai keadilan sosial-ekonomi
sekaligus sebagai sarana ibadah memenuhi kewajiban kepada Allah, lingkungan dan
individu melalui keterlibatan perusahaan dalam kegiatan ekonomi. Hasil akhir
teknik akuntansi syariah adalah informasi akuntansi yang akurat untuk menghitung
zakat dan pertanggungjawaban kepada Allah.
Hal
ini menjadikan akuntansi syariah sebagai alat pertanggungjawaban, dimana mematuhi
prinsip full disclosure
(Asrori, 2002). Laporan keuangan akuntansi syariah berorientasi pada membawa
pesan moral dalam menstimuli perilaku etis dan adil terhadap semua pihak.Berikut
ini merupakan rerangka konseptual akuntansi dalam paradigma Syariah.
Paradigma Akuntansi Syariah dalam
Konstruksi Sosial
Sebelumnya,
akuntan selalu memandang dirinya sebagai pihak yang bersifat objektif, bebas
nilai, dan teknisi perusahaan dalam menyajikan realita(Morgan, 1988). Hal ini mengakibatkan akuntansi disajikan
dengan cara yang terbatas dan cenderung sepihak. Sehingga perumusan teori
akuntansi dibentuk dengan konstruksi yang sangat tergantung pada realita
praktik akuntansi itu sendiri (Suwiknyo, 2007) . Namun,
Francis (1990) mengajak masyarakat untuk melihat akuntansi tidak semata – mata
sebagai angka yang merefleksikan realita ekonomi, tetapi sebagai praktek moral
dan diskursif.
Menurut
Triyuwono (2000 dan 2001), sebagai praktik moral, akuntansi secara idial
dibangun dan dipraktikkan didasarkan pada nilai – nilai etika. Sehingga
menghasilkan informasi yang bernuansa etika dan mendorong terciptanya realita
ekonomi dan bisnis yang beretika. Sedangkan akuntansi sebagai praktik diskursif
memiliki pengertian apabila akuntansi hanya sebagai alat menyampaikan informasi
pada orang lain yang berpengaruh pada user dan sebaliknya, user memiliki
kemampuan mempengaruhi akuntansi sebagai instrumen bisnis.
Selain
itu, menurut Belkoui (2001) akuntansi dapat dipandang sebagai idiologi yang
mampu menjadi alat pendukung tatanan sosial-ekonomi suatu masyarakat. Nilai –
nilai masyarakat memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi bentuk
akuntansinya. Bahkan nilai lokal atau
nilai – nilai masyarakat dapat menjadi sebuah alternatif untuk mengembangkan
akuntansi khususnya etika (Ludigdo & Kamayanti, 2012) . Sehingga
akuntansi memiliki integritas akuntansi tetap terjaga.
Islam
menuntut adanya pelaksanaan secara konsisten bagi umat muslim(Antonio, 2001;7). Dengan kata lain, kemunculan akuntansi dengan
paradigma syariah yang lebih dikenal dengan akuntansi syariah , merupakan upaya
konsistensi untuk menjadikan islam sebagai gaya hidup (the way of life) bagi masyarakat muslim. Sehingga dapat disimpulkan
apabila akuntansi syariah merupakan ideologi yang lahir dari masyarakat muslim
dimana menerapkan praktik ekonomi Islam.
Menurut
Hameed (2001), eksistensi akuntansi
syariah sebagai ideologi masyarakat muslim haruslah memenuhi pesyaratan
mendasar dan tujuan diselenggarakan akuntansi syariah. Pesyaratan itu meliputi,
benar (truth), sah (valid), dan adil (justice) serta mengandung nilai kebaikan (ihsan). Sedangkan tujuan diselenggarakan akuntansi syariah adalah
mencapai keadilan sosial-ekonomi dengan memberikan informasi secara
lengkap untuk mengetahui nilai dan
kegiatan ekonomi yang diperbolehkan dan berlawanan dengan syariat. Dengan kata
lain, syariah sebagai paradigma alternatif , dibutuhkan oleh masyarakat muslim
sebagai pendukung untuk menerapkan praktik ekonomi Islam dan tata kehidupan
sosial ekonomi yang sesuai dengan syariat.
Kode etik Akuntansi dalam Paradigma Syariah
Menurut
Harahap (2002), syariah merupakan sistem yang komprehensif , yang bukan sekedar sistem hukum, namun juga sistem
yang lengkap dengan mencakup aspek moral. Dengan kata lain, syariah tidak hanya
menekankan pada hukum positif, tapi juga pada etika. Disinilah peran Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial Intitutions (AAOIFI)
dibutuhkan. AAOIFI merumuskan sebuah
kode etik bagi akuntan dan auditor yang bekerja dalam lembaga keuangan Islam.
Kode etik akuntan ini adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
syariah Islam. Dalam value system, syariat ditempatkan sebagai landasan dan dijadikan sebagai pertimbangan dasar dalam
setiap legislasi dalam masyarakat dan Negara Islam. Berikut ini merupakan kode
etik menurut AAOIFI (2002:230) :
1. Dapat dipercaya
Akuntan harus
jujur dan bisa dipercaya dalam mengemban tugasnya . Selain itu, akuntan harus memiliki tingkat integritas dan
kejujuran yang tinggi serta mampu menghargai kerahasiaan informasi yang
diketahuinya.
2. Legitimasi
Akuntan harus mampu
memastikan bahwa semua kegiatan profesi yang dilakukannya harus memiliki
legitimasi dari hukum syariah. Termasuk peraturan dan perundangan yang berlaku.
3. Objektivitas
Akuntan harus
bertindak adil atau dapat dikatakan bebas dari konflik kepentingan. Objektivitas
juga mencakup jika seorang akuntan tidak boleh memberikan tugas kepada pihak
lain yang tidak kompeten.
4. Kompetensi
profesi dan rajin
Akuntan harus
memiliki kemampuan yang dilengkapi dengan latihan-latihan untuk menjalankan
tugas. Akuntan harus mampu melaksanakan tugas dengan rajin dan berusaha sekuat
tenaga sehingga ia bebas dari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya bukan
saja dari atasan, profesi, public tetapi juga dari Allah SWT.
5. Perilaku yang
didorong keyakinan agama (keimanan)
Perilaku akuntan
harus konsisten dengan keyakinan akan nilai Islam. Semua perilaku harus didasarkan
dan didorong oleh nilai-nilai Islam.
6.Perilaku
profesional dan standar teknik
Akuntan dalam melaksanakan
kewajibannya, harus dapat memperhatikan peraturan profesi termasuk didalamnya
standar akuntansi dan auditing lembaga keuangan syariah.
hadiah untuk seorang sahabat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar